Sajak Penghabisan
(Cerpen Ayu Larasati yang dimuat Horison, Februari 2015)
Bukan pertama kali aku mencandu bait-bait puisi yang kutulis di bawah patahan hujan yang luruh ke bumi. Tanganku menadah tetesan air hujan yang terasa dingin.
Seperti kau, aku juga jatuh cinta pada hujan dan puisi.
Sejak kau aku saling mengenal di waktu pertama kita memasuki gerbang kehidupan dalam lingkup perkuliahan dulu, aku tahu kau menaruh hati padaku. Kau selalu ada untuk mendengarkan ceritaku. Dan kau bercerita mengenai hujan dan puisi yang kaucintai. Pelan-pelan aku juga mencintai puisi dan hujan sepertimu.
Kau selalu bilang, hujan selalu mengandung beribu makna tersirat. Tergantung bagaimana setiap orang menafsirkannya. Bagiku, hujan adalah sebait elegi yang membekukan gemeletuk gigil dalam kalbu. Dan bagimu, hujan adalah bait-bait soneta yang kau rangkai dalam lembar-lembar waktu. Hujan adalah romansa bagi dua kutub yang berlawanan dan saling tarik-menarik. Hujan adalah baris-baris serenada saat kau nikmati setiap tetesan hujan dalam dzikir dan doa.
“Bukan kali pertama Dia kucinta. Meski untuk kesekian kali aku merapalkan mantra dalam hujan yang menyetubuhi sabda. Meringkas jarak-Nya dan aku lebih dekat dari jarak nintang dan rembulan-Nya. 1” Katamu suatu ketika saat kau aku menghabiskan sepucuk senja dalam rinai hujan di halte kampus.
Semenjak itu kau dan aku semakin dekat saja.
Di sebuah taman kau aku meneduhkan diri dari terik. Aku tahu kau mencintaiku. Aku tahu bukan karena aku berekspetasi belaka. Kau yang berulangkali mengatakannya. Tapi aku tak bisa. Aku belum mengatakan alasannya. Belum saatnya aku mengatakannya. Meski berulangkali kau berkata padaku:
“Aku mampu mencintaimu tanpa rasa cemburu. Akar-akar tidak pernah menuntut dirinya menjadi pohon yang kokoh menjulang, sedangkan pohon juga tidak mau menangisi diri ketika memandang daun-daun meneduhi. 2”
Tapi aku terus berkata ‘tidak’ sampai penghujung waktu saat kau aku melemparkan topi wisuda berwarna hitam. Toga tanda kelulusan yang kau aku dapatkan setelah empat tahun menempuh pendidikan. Kemudian kau mengulurkan selingkar cincin bermata berlian berbentuk hati. Namun aku masih saja berkata tidak.
“Ada lelaki lain yang memberiku secercah bintang dalam selingkar cincin. Kami akan segera melangsungkan janji suci dalam ikatan pernikahan.”
Kataku tenang dan dalam bagaikan sebentang danau. Aku tahu perkataanku akan menghanyutkanmu dalam kedalaman luka yang tak berdasar. Kau harus menerimanya, sepahit apapun kenyataan itu. Seperti katamu dulu, cinta sejati adalah cinta yang membebaskan orang yang dicintai untuk bahagia.
Kau hanya tersenyum getir menatapku. Tapi aku lebih dari tahu, ada sekeping hati yang remuk di dadamu.
***
Tangisan bayi. Ya, tangisan bayi yang kini mewarnai rumahku yang sepi. Juga tangisanku sendiri yang berebutan keluar tanpa mampu kuusir.
Sungguh, aku merasa menyesal telah menolakmu habis-habisan. Lelaki pilihan tak selamanya sesuai harapan. Ia pergi begitu saja, setelah mengisap habis wangi melatiku. Dan sebuah kehidupan yang kini menangis bersamaku, tak mampu menyeret hati lelaki itu untuk kembali pulang.
Bayiku yang cacat. Ia bahkan tak mampu melihat indahnya dunia semenjak kepalanya keluar dari hangat rahim melewati garba kehidupan. Bayiku adalah salah satu alasan dari beberapa faktor yang membuat lelaki itu pergi.
Oh, bayiku yang malang.
Dekap hangatku masih saja tak mampu meredakan tangisan.
Guntur mulai menyambar-nyambar. Hujan benar-benar disiramkan dari ember raksasa ke atas bumi yang berangsur gelap. Sesekali halilintar berdenyar-denyar membuat alam tersiram cahaya sesaat.
Aku meninggalkan bayiku yang tangisnya semakin menjadi-jadi. Seperti dulu, aku meninggalkan apapun yang kulakukan dan menghampiri dingin tetesan hujan.
Hujan membuatku teringat kau.
Kau yang masih saja peduli padaku. Jauh lebih peduli dari lelaki pilihanku sendiri. Masihkah kau mencintaiku? Mengapa kau terus menunggu aku yang selama ini hanya menyakitimu?
Dan kini aku benar-benar berjalan menerabas hujan. Berlari ke arah manapun dimana hujan turun paling deras. Menyatukan tangisku dengan tetes-tetes air langit seperti bait-bait elegi hidupku.
Tak peduli kilat yang terus menyambar-nyambar. Tak peduli suara guntur yang memekakkan telinga. Aku hanya ingat kau. Kau yang mencintai puisi dan hujan.
Entah mengapa aku tak pernah bisa jatuh cinta pada orang sesempurna dirimu.
Hujan masih berjatuhan bagai ratusan anak panah yang menusuki tulang. Aku terbalut gigil. Lama-lama rasanya kian menggigir seperti tertimpa hujan salju. Dingin dan beku.
Apakah aku punya semacam sinyal atau radar yang bisa memanggilmu datang?
Tiba-tiba saja kau bersama Chevrolet hitam yang kau kemudikan berhenti ke arahku. Kau membanting pintu mobil tanpa rasa sabar. Kau memayungiku dengan jas formalmu yang tetap saja tertembus derasnya hujan. Kau panik terhadap keadaanku yang kacau balau. Kau memapahku menuju mobilmu dan membalutku dengan jaket yang kau bawa.
Kau belum juga menjalankan mobilmu. Kau menatapku intens dengan tatapan yang sulit kuartikan. Aku tahu kau sedih dan kecewa padaku. Maaf...
“Cha, apa yang kaulakukan? Dimana lelaki pilihanmu itu?”
Aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaanmu dengan tergugu. Tanpa kujelaskan lebih jauh lagi, kau pasti tahu ia telah meninggalkanku. Kau benar, ia bajingan! Lelaki yang kupilih dengan keras kepala tanpa mengindahkan pendapatmu. Semuanya hanya demi cinta yang semu dan busuk!
“Cha, selimuti hatimu dengan tanganku.”
Kau merengkuhku dengan segenap kasih sayang yang masih saja sama seperti beberapa tahun yang lalu. Atau justru perasaanmu lebih meluber dan tumpah dari palung jiwamu menuju semua tempat di kepingan kalbu. Aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan bagaimana kau berusaha menyelimuti hatiku yang menggigil dengan hangat tanganmu. Aku bisa merasakan semua, tersirat di setiap desahan napasmu yang tak beraturan.
Tapi jiwaku telah tertawan pada sebuah ruang yang takkan pernah kau mengerti. Dan aku tak bisa keluar lagi dari ruang kelabu itu.
***
Cha, kau memang benar-benar keras kepala.
Kini aku menggendongmu yang tertidur dalam keadaan basah kuyup kehujanan. Kubiarkan saja bajumu mengering sendiri. Aku sama sekali tak berhak untuk melakukannya, karena aku bukanlah lelakimu. Meski aku khawatir kau akan sakit nantinya.
Kubaringkan kau di sisi bayimu yang juga tertidur. Astaga, aku tak menyangka kau sekacau ini. Semua perabotan di rumahmu benar-benar berantakan. Berserakan. Kau sangat kacau. Bagaimana nasib bayimu jika kau sendiri tak mampu merawat dirimu sendiri?
Terakhir kali aku bertemu kau beberapa minggu yang lalu, aku sudah menangkap tanda ketidakberesan dari dirimu. Mungkin kau terkena neurosis akibat menghadapi lelaki yang kaucintai itu terang-terangan mengkhianatimu. Aku semakin khawatir jika sampai kau terkena skizofrenia. Kau dulu mahasiswi psikologi, Cha. Mengapa justru kau terjerumus pada masalah kejiwaan?
Aku menatap wajahmu yang kini lebih tirus. Tubuhmu yang dulu ideal kini kurus kering, hanya serupa tulang berbalut kulit.
Sekejam itukah lelakimu menyiksa jiwamu yang putih?
Aku tak pernah menyalahkanmu tentang pilihan salah yang kau jatuhkan. Aku hanya mengukir sesal karena aku yang masih kurang meyakinkanmu, tentang mana yang terbaik dan mana yang terburuk. Aku yang terlupa menunjukkanmu dimana utara, meski aku selalu berkata bila aku adalah kompasmu. Tapi yang tak pernah kumengerti, mengapa kau berlarut dalam cinta semu seorang lelaki kelinci? Apakah matamu rabun terhadap kasih dan kesetiaan hakiki?
Aku memutuskan untuk segera beranjak dari rumahmu yang dicekam sunyi. Atau aku akan terlarut pada perasaan perih yang kian menyayat kalbu. Kuraih kunci Chevrolet di meja dan menatap wajahmu untuk terakhir kalinya. Mungkin aku harus meninggalkan secarik pesan untukmu.
Lampu-lampu jalan berpijar menerangi jalan dengan lineria keemasan. Hujan hanya tinggal meninggalkan sekelumit gerimis yang membikin hati teriris. Chevroletku terus melaju berlaga di atas jalanan kota licin terbasuh air bah hujan. Jalanan waktu. Jalanan beku.
***
Kau masih saja seperti dulu. Mewarnai hariku dengan sprektum warna dalam puisi. Aku tersenyum simpul mendapati secarik pesan darimu:
“Tetap tegar, Cha. Badai sekencang apapun tak akan pernah mampu mengoyak ketegaranmu.”
Aku beranjak dari tempat tidurku. Menyibak korden berwarna biru safir yang mengusam oleh waktu. Barangkali semacam itu pula sebuah penyesalan yang mengusam tertelan deru waktu yang berlaga tanpa mampu dihentikan barang sedetik saja.
Bukan karena sesalku yang mencintai lelaki yang salah. Karena cinta selalu lebih tahu kemana dia akan berpulang. Namun sesalku mengembang saat aku tak dapat membalas sedikitpun kebaikanmu yang telah kau lakukan untukku.
Di luar, matahari merangkak di horison timur. Seperti ratusan pagi yang telah kulewati, matahari tetap konsisten berlayar mengarungi langit biru maha luas. Seperti kesetiaanmu yang tak lekang oleh waktu, kau tetap tersenyum meski aku tak menghiraukan senyummu.
Cinta yang datang terlambat.
Beserta penyesalan yang melesat bagaikan bom atom dengan kecepatan cahaya yang memporakporandakan hatiku.
Tidak mungkin kau menerimaku kembali. Aku bukanlah lagi melati yang mekar dan menggemakan semerbak wangi seperti dulu. Kini aku melati layu yang ditinggalkan lebah yang kupilih sendiri dengan kaprah. Apalagi dengan sebuah kehidupan yang tak mampu melihat, bayiku yang cacat.
Semua kenyataan ini membuatku merasakan sakit. Sakit yang paling luka, sakit yang paling pedih, sakit yang paling perih yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Tapi, barangkali kau lebih sakit karenaku. Tersebab semua kesetiaanmu yang kuacuhkan. Puisi yang kaulukiskan untukku. Hujan yang kau alirkan di sahara hidupku.
Barangkali tak ada hidup yang lebih tak berguna dibanding hidupku.
Bayiku menangis lagi. Disusul oleh tangisku yang memecah dan membanjiri hatiku yang luka.
Dan pada akhirnya kuputuskan sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya sepanjang hayatku.
***
Inikah hari terbaik bertemu dengan-Mu?
Gemericik air terdengar di segala penjuru. Tapi itu bukanlah hujan yang luruh dari langit. Telah kubuang jauh-jauh esensi hujan dari benakku.
Kini aku tengah berdiri di atas ketinggian duapuluh lima meter. Dan sepelemparan batu dari tempatku berdiri, mengalir deras air terjun yang meluncur ke bawah, tertarik gaya gravitasi bumi.
Aku memejamkan mataku. Ini keputusan terakhirku : hari ini, aku bisa mati!!!
Kaki kananku perlahan menjejak air sedingin es. Lalu sejurus kemudian, tubuhku terjun bebas mengikuti air terjun yang meluncur deras. Setinggi duapuluh lima meter.
Langit kian memudar. Tak bisa kudengar lagi tangis bayi yang menyayat. Tak ada lagi kesetiaan yang bakal kusia-siakan.
Dan sebelum seorang lelaki langit tak berwajah mengambil kembali selembar nyawa yang dipinjamkan-Nya untukku, kudengar samar-samar sajakmu―sebuah sajak penghabisan, yang menggema di seluruh penjuru:
tersebab tak lagi di langit
dan tidak dibumi
langit kian pudar
berganti hujan memendar
kujemput kau
kujemput agar kau
lekas berpulang. []
***
Purwokerto, 20-21 Oktober 2014
Catatan :
1) Petikan sajak Dimas Indianto yang berjudul Cinta yang Paling dengan pengubahan seperlunya.
2) Petikan sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul Aku Mampu Mencintaimu pada antologi Kepayang (CintaBuku Press) halaman 35.
0 komentar:
Posting Komentar