Senin, 21 Mei 2012
Nasihat untuk Anakku
Nasihat untuk Anakku
- Salahkah?
Orang tua kerap menasihati
anak-anaknya terutama yang masih kecil,”Jangan nakal, ya”. Bahkan orang tua
yang lebih ekstrem mengatakan, “ Kamu tidak boleh nakal. Kalau temanmu nakal,
kamu tidak boleh membalas”. Kalimat-kalimat bijak seperti itu muncul karena
orang tua mengharapkan putra-putrinya menjadi anak yang santun, penuh kasih
sayang, dan berkepribadian baik. Selalu tepatkah nasihat seperti itu?
Suatu hari anakku yang nomor dua
pulang dari bermain. Sambil menangis ia menyuruhku, ibunya, menemui seorang teman bermainnya. Ia ingin
agar aku menasihati Danu supaya jangan mengulang lagi kenakalannya. Seminggu
berlalu, anakku menunjukkan perilaku yang sama. Pulang sambil menangis menunjukkan
kakinya yang lecet karena jatuh. Ia ingin ibunya menemui seorang teman bermain
sepak bola. Tujuannya sama, untuk mengingatkan agar tidak mengulang
kenakalannya mendorong tubuh anak saya saat bermain sepak bola. Karena tangis
dan permintaannya sulit dihentikan,aku turuti kemauannya.
Ternyata kejadian-kejadian serupa
terus berulang. Berkali-kali aku harus menemui teman bermain anakku. Meminta
agar tidak ‘nakal’ lagi versi anakku. Beberapa kali aku hanya keluar rumah
berpura-pura telah menunaikan tugas itu. Yang paling memojokkan adalah ketika
disuruh melaporkan kenakalan kepada orang tua teman. Tentu saja tidak aku
luluskan. Lama-lama aku merasa kerepotan.
Aku merasa kebingungan berperan
sebagai orang tua. Haruskah nasihat yang diwariskan orang tuaku aku teruskan kepada anakku seperti
ini? Aku mulai berpikir. Keluarga sebagai sebuah lembaga sudah amat berubah.
Tampaknya tidak semua pegangan atau ajaran keluarga di masa lalu tepat
diterapkan pada generasi sekarang. Karena merasa terdesak suatu hari aku
menyuruh anakku untuk membalas jika ada teman yang dianggap nakal.
Suasana Minggu yang damai ketika
itu tiba-tiba pecah oleh suara keras memanggil-manggilku. Tak ayal lagi dialah
anakku yang masih berusia enam tahun. Segera kusambut kedatangannya. Di ambang
pintu dia menunjukkan bekas cakaran-cakaran kuku di hampir seluruh wajah dan
leher. Ada belasan cap kuku tergores di sana. Sebagiannya berwarna kemerahan
karena darah. Anehnya, dia tidak menangis. Ia menceritakan alasan
perkelahiaannya. Dengan perasaan tak
menentu kudengarkan kata demi kata. Aku mulai menyalahkan diri sendiri telah
menyuruh untuk membalas kenakalan teman. Aku membayangkan betapa anakku hanya
dijadikan bulan-bulanan tanpa memiliki kemampuan untuk membalas.
Tanpa menunggu lama aku pergi ke
warung yang berjarak tiga rumah. Tentu saja untuk membeli beberapa kebutuhan
dapur. Namun, itu bukanlah yang utama. Yang terpenting aku ingin melihat Faih,
cucu dari pemilik warung. Apakah ia baik-baik saja? Ternyata keadaannya lebih
parah daripada anakku. Hampir dua kali lipat jumlah luka berbentuk lengkungan
kuku. Sama seperti aku, pemilik warung tidak menganggap serius perkelahian
antara cucunya dan anakku. “Besok-besok juga pasti akur lagi,” katanya bijak.
Aku tidak menduga efek dari
perintahku membalas kenakalan teman. Semenjak perkelahian itu, anakku tidak
lagi pulang menangis mengadukan peristiwa yang baru dialami. Tidak ada lagi
rengekan perintah untuk menemui temannya yang dianggap nakal. Tidak ada lagi
perasaan kesal di hatiku karena harus meninggalkan aktivitas penting di rumah untuk
mencari-cari seorang anak yang dianggap nakal oleh anakku. Aku tidak tahu
persis apa yang telah berubah. Mungkinkah anakku sekarang menjadi pemberani
sehingga tidak lagi ‘dinakali’. Apa pun yang telah berubah, aku harus selalu
sadar bahwa orang tua mempunyai dampak yang paling dramatik dan positif pada
pendidikan anak-anak, tidak hanya selama masa kanak-kanak, tetapi juga seluruh
masa depan mereka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar