Pages

Labels

This is featured post 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Footer Widget 2

Senin, 21 Mei 2012

Nasihat untuk Anakku


Nasihat untuk Anakku - Salahkah?

Orang tua kerap menasihati anak-anaknya terutama yang masih kecil,”Jangan nakal, ya”. Bahkan orang tua yang lebih ekstrem mengatakan, “ Kamu tidak boleh nakal. Kalau temanmu nakal, kamu tidak boleh membalas”. Kalimat-kalimat bijak seperti itu muncul karena orang tua mengharapkan putra-putrinya menjadi anak yang santun, penuh kasih sayang, dan berkepribadian baik. Selalu tepatkah nasihat seperti itu?


Suatu hari anakku yang nomor dua pulang dari bermain. Sambil menangis ia menyuruhku, ibunya,  menemui seorang teman bermainnya. Ia ingin agar aku menasihati Danu supaya jangan mengulang lagi kenakalannya. Seminggu berlalu, anakku menunjukkan perilaku yang sama. Pulang sambil menangis menunjukkan kakinya yang lecet karena jatuh. Ia ingin ibunya menemui seorang teman bermain sepak bola. Tujuannya sama, untuk mengingatkan agar tidak mengulang kenakalannya mendorong tubuh anak saya saat bermain sepak bola. Karena tangis dan permintaannya sulit dihentikan,aku turuti kemauannya.
Ternyata kejadian-kejadian serupa terus berulang. Berkali-kali aku harus menemui teman bermain anakku. Meminta agar tidak ‘nakal’ lagi versi anakku. Beberapa kali aku hanya keluar rumah berpura-pura telah menunaikan tugas itu. Yang paling memojokkan adalah ketika disuruh  melaporkan kenakalan  kepada orang tua teman. Tentu saja tidak aku luluskan. Lama-lama aku merasa kerepotan. 

Aku merasa kebingungan berperan sebagai orang tua. Haruskah nasihat yang diwariskan  orang tuaku aku teruskan kepada anakku seperti ini? Aku mulai berpikir. Keluarga sebagai sebuah lembaga sudah amat berubah. Tampaknya tidak semua pegangan atau ajaran keluarga di masa lalu tepat diterapkan pada generasi sekarang. Karena merasa terdesak suatu hari aku menyuruh anakku untuk membalas jika ada teman yang dianggap nakal.

Suasana Minggu yang damai ketika itu tiba-tiba pecah oleh suara keras memanggil-manggilku. Tak ayal lagi dialah anakku yang masih berusia enam tahun. Segera kusambut kedatangannya. Di ambang pintu dia menunjukkan bekas cakaran-cakaran kuku di hampir seluruh wajah dan leher. Ada belasan cap kuku tergores di sana. Sebagiannya berwarna kemerahan karena darah. Anehnya, dia tidak menangis. Ia menceritakan alasan perkelahiaannya.  Dengan perasaan tak menentu kudengarkan kata demi kata. Aku mulai menyalahkan diri sendiri telah menyuruh untuk membalas kenakalan teman. Aku membayangkan betapa anakku hanya dijadikan bulan-bulanan tanpa memiliki kemampuan untuk membalas. 

Tanpa menunggu lama aku pergi ke warung yang berjarak tiga rumah. Tentu saja untuk membeli beberapa kebutuhan dapur. Namun, itu bukanlah yang utama. Yang terpenting aku ingin melihat Faih, cucu dari pemilik warung. Apakah ia baik-baik saja? Ternyata keadaannya lebih parah daripada anakku. Hampir dua kali lipat jumlah luka berbentuk lengkungan kuku. Sama seperti aku, pemilik warung tidak menganggap serius perkelahian antara cucunya dan anakku. “Besok-besok juga pasti akur lagi,” katanya bijak.

Aku tidak menduga efek dari perintahku membalas kenakalan teman. Semenjak perkelahian itu, anakku tidak lagi pulang menangis mengadukan peristiwa yang baru dialami. Tidak ada lagi rengekan perintah untuk menemui temannya yang dianggap nakal. Tidak ada lagi perasaan kesal di hatiku karena harus meninggalkan aktivitas penting di rumah untuk mencari-cari seorang anak yang dianggap nakal oleh anakku. Aku tidak tahu persis apa yang telah berubah. Mungkinkah anakku sekarang menjadi pemberani sehingga tidak lagi ‘dinakali’. Apa pun yang telah berubah, aku harus selalu sadar bahwa orang tua mempunyai dampak yang paling dramatik dan positif pada pendidikan anak-anak, tidak hanya selama masa kanak-kanak, tetapi juga seluruh masa depan mereka.

0 komentar:

Posting Komentar